B. Indonesia

Pertanyaan

Tuliskan cerpen tentang pengalaman menarik anda
#nyata
#bukan asal-asalan

1 Jawaban

  • Ya… berbekal seragam merah putih yang sudah kucel warisan dari kakak pertamaku Wahyu, serta satu buah seragam baru yang dibelikan orangtuaku, perasaan senang dan bahagia tentu saja terus menerus menyelimuti hatiku di sepanjang perjalanan berjalan menuju SDN Kemuning.

    Anak berperawakan kurus pendek dengan rambut merah karena keseringan dihantam matahari itu adalah aku. Ya aku Asep, anak bungsu dari ke lima bersaudara yang hidup dalam ekonomi keluarga serta terbatas. Tetapi meskipun lahir dari keluarga berlatar belakang ekonomi yang tidak dikehendaki, tapi tentu aku masih bangga karena terlahir dari keluarga yang agamis.

    Katanya dari mulai kakekku, Bapakku Solihin dan Emakku Aminah, ke semuanya sudah dididik agama sejak kecil. Maka aku tak heran jika Bapak berpandangan, pendidikan agama lebih penting dari pada pendidikan umum. Karena faktor ekonomi, Bapak dan Kakak pertamaku hanya mampu sekolah sampai dengan tingkat Sekolah Dasar (SD). Apalagi Emakku yang sampai saat ini tidak bisa baca tulis laten, karena beliau hanya mampu bersekolah Madrasah. Sehingga setiap tulisannya di dalam buku hanya bisa ditulis dengan menggunakan huruf arab tetapi masih memakai bahasa sunda.



    Meskipun hanya mampu mengenyam pendidikan formal sampai Sekolah Dasar (SD), tetapi Bapak dan Kakak memiliki kelebihan pendidikan agama islam. Karena keduanya memiliki sejarah bangku pendidikan non formal yang sama, yaitu cukup lama belajar agama di Pondok Pesantren (Ponpes). Dari mulai Kitab Jurumiyah sampai Kitab Kuning, keduanya sudah cukup fasih dan sepertinya layak untuk dipanggil sebagai ustadz atau guru agama. Sehingga meskipun lahir dari latar belakang ekonomi keluarga yang lemah, di kampung aku masih punya kebanggaan, karena terlahir dari keluarga yang agamis. Sehingga selepas pulang sekolah dan kemudian bermain, sore hari pelataran rumahku selalu dipenuhi oleh anak-anak kampung yang belajar mengaji. Dan aku pun pelan-pelan mulai belajar agama di sana.

    Selepas pulang sekolah, aku gantungkan seragam merah putihku di sebuah paku yang banyak menancap di sebagian tembok rumahku. Karena tak ada gantungan pakaian untuk dibeli, semua orang di dalam keluarga kecil ini memang sudah terbiasa menggantungkan pakaian bekas di paku yang ditempel ke tembok di setiap bagian sudut rumah. Begitupun dengan aku yang menuruti kebiasaan keluargaku tersebut. Menggantungkan pakaian bekas yang esok atau lusa akan dipakai lagi. Dari mulai seragam sekolah, sarung, kopiah sampai dengan pakaian bermain, semuanya aku gantungkan di paku-paku itu.

    Hari sudah mulai sore, tetapi aku yang bandel masih saja asik bermain kelereng ataupun bermain tepuk gambar bersama dengan teman-teman bandel lainnya. Baru saja gundu kelereng akan aku mainkan supaya mengenai kelereng temanku yang lainnya. Tiba-tiba saja telinga kananku sakit karena ada yang menjewer. Saat aku menoreh ke belakang, aku melihat ternyata tangan lembut yang menjewer kupingku tersebut adalah tangan Emak yang sorot matanya aku lihat sedang marah besar, karena sudah sore hari aku belum pulang ke rumah dan masih asik bermain kelereng.

    “Ayo cepet pulang, ikut ngaji kamu”, kata Si Emak, yang matanya terus memeolototi mataku.
    “Iya mak… iya pulang”, kataku sambil berdiri dengan harapan Si Emak melepaskan tangannya dari telingaku.
    “Mau jadi apa kamu nanti kalau setiap hari kayak gini terus”, kata Si Emak.
    “Mulai besok gak usah main kelereng atau tepuk gambar lagi, kalau kamu masih sering lupa waktu untuk ngaji sama ngerjain PR sekolah”, timpal Si Emak yang masih terus saja menjewer telingaku yang sudah mulai memerah.

    Dalam perjalanan pulang ke rumah sambil diceramahin Si Emak, setiap langkah yang menginjak bebatuan kecil di perkampungan itu aku masih terus membayangkan jika esok ataupun lusa aku masih ingin bermain kelereng atau tepuk gambar bersama temen-temanku. Karena aku pikir bermain kelereng dan tepuk gambar bukan hanya merupakan kesenanganku, karena lumayan bisa nambah-nambah uang jajan sekolah dan tabunganku. Karena kalau aku menang terus, kelereng dan gambar-gambar permainanku sering aku jual kembali kepada teman-temanku.

    Sesampainya di rumah…
    Selepas magrib itu, dengungan pujian-pujian “talaran” atau hapalan pelajaran pengajian serta lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an di pelataran rumahku terus bergemuruh. Suara-suara hapalan pelajaran agama anak-anak pengajian itu seakan menghangatkan suasana perkampungan. Dan biasanya suara-sura anak-anak pengajian itu akan berhenti selepas waktu isya. Di sudut pelataran rumah, aku yang juga sedang mengikuti pengajian terus saja memegangi telingaku yang sepertinya masih memerah karena masih terasa cukup sakit.

Pertanyaan Lainnya