mengapa pada masa dinasti umayyah pengaruh kebudayaan yunani tidak tampak?
Sejarah
aliqhanazwagmailcom
Pertanyaan
mengapa pada masa dinasti umayyah pengaruh kebudayaan yunani tidak tampak?
2 Jawaban
-
1. Jawaban krismatissa
Karena saat itu Islam mengalami mass kejayannya, sehingga pengaruh kebudayaan Islam lebih besar dibandingkan pengaruh kebudayaan yunani.
Maaf kalo salah -
2. Jawaban venomkiyaza
Filsafat Yunani mulai berpengaruh dikalangan ilmuan muslim pada masa pemerintahan Bani Umayyah, yang mana metode-metode berpikir yang digunakan oleh filosof yunani memberikan motifasi bagi ilmuwan muslim untuk lebih banyak berkarya dalam kemajuan pendidikan islam sehingga muncul ilmuan seperti jabir ibbnu hayyan, Al-khindi, Al- razi, Al-khawarizmi, Al-farobi, ibnu umar khayyan, ibnu rusydi dan sebagainya,melalui merekalah pengetahuan islam telah melakukan infestigasi dalam ilmu ke dokteran, teknologi, matematika, geografi dan bahkan sejarah.[1]
Namun Puncak perkembangan dan kebudayaan yunani dalam pemikiran Islam terjadi pada masa pemerinthan Bani Abbasiyah. Akan tetapi, bukan berarti seluruhnya berawal dari kreatifitas penguasa Bani Abbasiyah sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam, misalnya Dalam bidang pendidikan, diawal Islam lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat Maktab/kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan rendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan,sedangkan masjidnya adalah tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits , fiqh dan bahasa, setelah Dinasti Abbasiyah memegang kekuasaan Islam, mulailah di dalam Islam terjadi transformasi ilmu secara besar besaran. Hal ini dilakukan dengan adanya penerjemahan berbagai buku peninggalan Yunani ke dalam bahasa Arab,terutama dalam bidang kedokteran dan filsafat,yang mana periode ini terdapat dalam tiga bagian:
Periode pertama
Masa kekhalifahan al-Manshur sampai akhir masa Harun al-Rasyid Pada masa inilah mulai diterjemahkannya berbagai buku seperti Kalila wa Dimnah dari mitologi Persia, Sinbad dari India dan buku-buku logika (manthiq) Aristoteles. Di antara para penerjemah yang sangat terkenal saat itu adalah Ibn al-Muqaffa’, Jorjias bin Jibril dan Yohana.Pada periode inilah aliran Islam yang ````sangat rasional (Mu’tazilah) mulai bersentuhan langsung dengan buku-buku filsafat Yunani. Hal ini disebabkan banyaknya para teolog Kristen dan Yahudi yang menggugat dasar-dasar aqidah Islam dengan menggunakan filsafat Yunani. Oleh sebab itu, teologi Mu’tazilah yang semenjak awal kelahirannya sangat rasional, seolah-olah mendapatkan tenaga baru untuk mengembangkan sistem pemikirannya, dan pada saat itulah mereka mulai banyak mengenal terminologi-terminologi filsafat Yunani seperti substansi (jauhar) dan ‘aradl yang banyak digunakan dalam teori-teori kalam.
Periode kedua
periode al-Ma’mun, yaitu dari tahun 198 sampai 300 H.Al-ma’mun kholifah yang banyak berjasa dalam menerjemahkan karya-karya yunani, yang dibaca oleh karya ilmuan muslim ini memberikan motifasi untuk menggunakan logika dalam membahas ajaran islam dan mengembangkan serta menemukan berbagai macam ilmu pengetahuan yang baru, Di antara para penerjemah periode ini adalah Yahya al-Bithriq, Hajjaj bin Yusuf, Qastha bin Luqa, Abdul Masih bin Na’imah, Hunain ibn Ishhak, Ishaq bin Hunain Tsabit ibn al-Qurrah serta Hubaisy al-A’syam. Pada periode ini, penerjemahan buku-buku filsafat mulai mendapatkan porsi yang lebih besar daripada kedokteran,.
Periode ketiga
periode ketiga adalah periode paska al-Makmun yang memunculkan beberapa penerjemah handal seperti Mata bin Yunus, Sannan bin Tsabit, Yahya bin Adi, Ibn Zur’ah. Pada periode inipun, yang mendapatkan porsi terbesar adalah penerjemahan buku-buku filsafat, terutama karya-karya Aristoteles.
Faktor-Faktor Pendorong Penerjemahan Secara Besar-Besaran
Pertama, selama dinasti Umayyah, kemajuan intelektual umat Islam cenderung datar, padahal saat itu Islam sudah masuk ke luar Arab. Oleh sebab itu, pada zaman dinasti Abbasiyah mulai disadari arti pentingnya ilmu-ilmu baru yang telah dikembangkan masyarakat non-Arab.
Kedua, pada masa-masa akhir Dinasti Umayyah, pemikiran keagamaan umat Islam sudah melonjak jauh, sehingga banyak di antara mereka yang mulai mempersoalkan makna takdir pada perbuatan manusia. Di antara mereka ada yang terjebak ke dalam kubu fatalisme esktrim atau free will(qadariyah); ada juga yang masih moderat (ikhtiyariyah). Pada situasi inilah umat Islam mulai banyak berpolemik, baik antar mereka sendiri maupun dengan para teolok nasroni dan yahudi
Ketiga adalah terdapatnya kecenderungan para khalifah Abbasiyah seperti al-Manshur, Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun terhadap ilmu-ilmu rasional dan filsafat.
Perbedaan gerakan terjemahan yang dilakukan pada masa Dinasti Umayah dan Abbasiyah adalah:
Pertama: bahwa pada masa Dinasti Umayyah, gerakan terjemahan dilakukan secara individual sedangkan pada masa Dinasti Abbasiyah dilakukan atas instruksi negara.
Kedua:pada masa Dinasti Umayyah terjemahan masih terbatas pada ilmu-ilmu kedokteran dan astronomi, sedangkan pada masa Abbasiyah diarahkan pada penerjemahan filsafat.